Adat Istiadat


Desa Marunggi menganut adat istiadat  Minangkabau.

Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial.

Adat Minang terbagi pada empat kategori:

  1. Adat nan sabana adat
  2. Adat nan teradat
  3. Adat nan diadatkan
  4. Adat istiadat

1). Adat nan Sabana Adat, adat yang sesungguhnya,  dan sebenarnya berlaku bukan hanya di Minangkabau saja, melainkan di seluruh alam semesta ini. Disepakati bahwa adat yang sebenarnya adat adalah Hukum Alam atau Sunnatullah, dan Hukum Allah yang tertuang di dalam ajaran Islam. Dengan mengambil Alam takambang menjadi guru.

Adat nan sabana adat” merupakan hal yang seharusnya, menurut “alue jo patuik”, menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa. Sebelumnya masuk Islam di Minangkabau , adat sabana adat dulunya merupakan aturan dalam masyarakat yang dicontoh dan dipelajari oleh nenek moyang kita Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt.Katumangguang dari kenyataan alam.

            Tantang sakik lakek ubek

            Tantang bana lakek alua

            Tantang aia lapeh tubo

            Tantang barrih makan pahek

            Tantang ukua mangko dikarek

            Dikapuak-kapuak lakek parmato

            Bulek aia dek pambuluah

            Bulek kato dek mufakat

            Bulek jantuang dek kalupak

            Bulek sagiliang, pipih salayang

            Panakiak pisau sirauk

            Ambiak galah batang lintabuang

            Silodang ambiak ka niru

            Nan satitiak jadikan lauik

            Nan sakapa jadikan gunuang

            Alam takambang jadi guru

2. Adat nan diadatkan

   Sesuatu yang didasarkan atas mufakat.  Adat ini merupakan sesuatu yang dirancang dan dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang.

Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam “Undang-Undang Nan Duo Puluah” dan “Cupak Nan Duo”.

“Cupak” artinya alat penakar. Maksudnya, norma yang dijadikan standar untuk mengukur atau menilai tindakan seseorang dalam bermasyarakat yang mana telah dimufakati bersama. Misalnya, pada upacara perkawinan haruslah mempelai wanita (anak daro) dan mempelai laki-laki memakai pakaian menurut yang dilazimkan pada saat acara perkawinan.

  Berdasarkan yang dibuat oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan yang dicontoh dari adat nan sabananyo adat, dan dilukiskan peraturan itu dalam pepatah, yakni persoalan yang bersangkutan dengan peraturan hidup masyarakat dalam segala bidang, umpamanya :
a. Kedudukan seseorang sebagai pribadi
b. Kedudukan masyarakat
c. Eknomi
Dan juga mengatur bidang :
a. Susunan masyasrakat
b. Tujuan masyarakat
c. Cara mencapai tujuan masyarakat


3. Adat Teradat

Adat nan teradat ini disebut juga Limbago (lembaga) dan Limbago ini adalah cetakan. Limbago akan menghasilkan sesuatu menurut limbago itu sendiri, kalau limbago itu bundar, maka akan bundar pula hasil yang dicetak dan jika bersegi, maka akan bersegi pula hasilnya. Jadi hasil cetakan itu menurut sifat dan keadaan limbago tersebut.
Peraturan tersebut berguna  untuk merealisasi peraturan-peraturan yang dibuat oleh nenek moyang dalam Adat Nan Diadatkan.

4. Adat Istiadat

adat yang terjadi dengan sendirinya karena interaksi antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dengan dunia luar. Dinamakan juga adat sepanjang jalan yang datang dan pergi, dan ditolerir selama tidak melanggar adat yang tiga di atas. Pengakuan akan adanya adat-sitiadat ini menjadikan adat Minang lebih komplit dan memberi ruang bagi anggota masyarakat untuk bereksperimen dengan hal-hal baru dan memperkaya budayanya seperti upacara adat, kesenian, olah raga, seni suara, seni lukis, dan bangunan-bangunan dan lain-lain.

Salah satu daya tarik adat istiadat masyarakat Pariaman adalah Upacara Tabuik. Tabuik berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.

Secara historis upacara ini erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, khususnya Islam Syi’ah di Pariaman. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.